Alasan Yang Dilarang Dalam PHK

Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang memberikan perhatian lebih kepada tenaga kerja. Melalui peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, Indonesia mengatur perlindungan kepada tenaga kerja baik sebelum, selama, maupun setelah masa kerja. Perlindungan yang telah diberikan oleh negara ini menjadi kewajiban dan hak normatif bagi pekerja maupun pengusaha yang harus diimplementasikan. Saat ini, Indonesia masih menerapkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagai dasar regulasi ketenagakerjaan. Dengan adanya regulasi ini diharapkan dapat mencegah tindakan kesewenang-wenangan pemberi kerja yang menindas pekerja.

Perlindungan Dalam Mencegah PHK

Salah satu substansi yang diatur di dalam peraturan ketenagakerjaan di Indonesia adalah mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Yang dimaksud dengan PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu alasan tertentu yang mengakibatkan berakhirnya kewajiban pekerja dan pengusaha dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. Pada hakikatnya, undang-undang mengamanatkan kepada seluruh pelaku hubungan industrial untuk menghindari PHK. Namun, tentu tidak selamanya PHK dapat dihindari sehingga PHK akan sangat mungkin terjadi di dalam hubungan kerja. Amanat sebagai dimaksud tadi disebutkan pada Paragraf 1 dan 2 Bagian Umum Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta yang berbunyi:

“Bagi kaum buruh putusnya hubungan kerja berarti permulaan masa pengangguran dengan segala akibatnya, sehingga untuk menjamin kepastian dan ketenteraman hidup kaum buruh seharusnya tidak ada pemutusan hubungan kerja. Tetapi pengalaman sehari-hari membuktikan bahwa pemutusan hubungan kerja tidak dapat dicegah seluruhnya.”

Bentuk-bentuk usaha peraturan perundang-undangan dalam mencegah atau menghindari PHK terus berkelanjutan. Misalnya pada Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi:

“Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.”

Selanjutnya pasal tersebut diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada pasal dan ayat yang sama, yang berbunyi “Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan Pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja.” Meskipun terdapat perbedaan diksi, namun pada dasarnya peraturan perundang-undangan berharap agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja.

10 Alasan PHK yang Dilarang 

Selain aturan dalam pengupayaan pencegahan PHK, peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan juga mengatur hal-hal yang dilarang untuk dijadikan alasan dalam melakukan PHK. Tentunya aturan ini juga dimaksudkan untuk melindungi pekerja dalam keadaan tertentu agar tidak diputus hubungan kerjanya. Terdapat 10 hal yang dilarang untuk dijadikan alasan PHK sebagaimana disebutkan pada Pasal 153 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang berbunyi:

“Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh dengan alasan:

  • berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
  • berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan;
  • menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
  • menikah;
  • hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
  • mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan;
  • mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
  • mengadukan pengusaha kepada pihak yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
  • berbeda paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; dan
  • dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan”

Akibat Hukum dari Pelanggaran Pasal 153 Ayat (1) UUCK

Tentu di lapangan, banyak oknum yang akhirnya melanggar ketentuan Pasal 153 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020. Hal tersebut diimbangi oleh akibat hukum yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan melalui Pasal 153 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang berbunyi:

“Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.”

Maksud dari kata “demi hukum” pada ayat tersebut ialah, jika pengusaha memutus hubungan kerja karena alasan yang disebutkan Pasal 153 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020  tentang Cipta Kerja maka dianggap tidak pernah ada pemutusan hubungan kerja. Akibatnya adalah pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja. 

Namun demikian, pasal tersebut tidak dapat berjalan tanpa adanya partisipasi korban. Maksudnya, jika pekerja yang diputus hubungan kerjanya dengan alasan yang disebutkan Pasal 153 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak memperselisihkan proses PHKnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka akibat hukum tersebut tidak akan berjalan dengan semestinya. Sehingga peran serta pekerja yang menjadi korban menjadi kunci terlaksananya akibat hukum tersebut.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp