Di awal bulan November tahun 2022 ini telah terjadi sebuah peristiwa hukum yang viral di seluruh media sosial. Mulai dari twitter, instagram, tiktok, dan media sosial lainnya. Peristiwa tersebut adalah pengakhiran hubungan kerja secara paksa oleh Perusahaan Brand Lokal dengan cara paksa pengunduran diri pekerja dengan ancaman ganti rugi. Seakan seluruh mata netizen tertuju pada peristiwa tersebut dan menjadi perbincangan hangat di seluruh media online.
Pada 3 November 2022 sore dini hari terdapat thread dari salah satu pengguna twitter yang merupakan pekerja di Perusahaan Brand Lokal tersebut. Dia menceritakan kronologi pemaksaan pengunduran diri dan ancaman ganti rugi tersebut secara runtut dan detail. Diceritakan peristiwa terjadi sejak tanggal 19 -20 Oktober 2022 dimana salah satu store dari perusahaan tersebut melakukan stock opname. Dari hasil stock opname diketahui terdapat total jumlah minus sebanyak 1000-an stok barang yang menjadi selisih dari Stock Card di sistem store tersebut.
Minus stok inilah yang menjadi akar terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Dari peristiwa tersebut, perusahaan mengirimkan tim-tim lain untuk melakukan stock opname ulang dan puncak peristiwanya adalah ketika para pekerja store tersebut dipanggil ke head office. Mereka diberikan tekanan dan ancaman ganti rugi akibat minus stok dengan total kurang lebih 600 miliar yang dibayarkan kolektif sesuai persentase yang ditetapkan oleh perusahaan tunai dan tidak bisa dicicil.
Tekanan dan ancaman ganti rugi tersebut membuat karyawan tertekan secara mental. Sampai pada akhirnya mereka dipaksa untuk menandatangani pengunduran diri. Tidak banyak pilihan, mereka hanya dapat memilih menerima pengunduran diri atau mengganti kerugian tersebut. Mereka pun memilih untuk mengundurkan diri. Kasus ini diceritakan kembali oleh berbagai influencer sosial media di berbagai platform. Sehingga peristiwa tersebut menjadi bahan pembicaraan hangat di kalangan masyarakat. Kemudian, bagaimana perspektif hukum ketenagakerjaan dalam menanggapi peristiwa tersebut?
Ancaman Ganti Rugi
Secara sederhana, yang dimaksud dengan ancaman/pengancaman adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan akibat, baik langsung maupun tidak langsung sehingga Saksi dan/atau Korban merasa takut atau dipaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dalam kasus di atas dapat kita simpulkan bahwa terdapat ancaman yaitu berupa ancaman ganti rugi kepada pekerja untuk melakukan penandatanganan surat pengunduran diri.
Di dalam thread, pekerja Perusahaan Brand Lokal menjelaskan bahwa adanya permintaan ganti rugi ini tidak berdasar atau tanpa bukti. Para pekerja merasa bahwa mereka dituduh lalai sehingga mengakibatkan kerugian hingga ratusan miliar. Tuduhan tanpa bukti yang berbentuk ancaman ini tentu mengguncang mental. Sehingga mereka dibuat dalam keadaan tidak berdaya dan dalam posisi yang sulit untuk mengambil keputusan.
Di dalam hukum pembuktian dikenal asas Actori Incumbit Onus Probandi yang artinya, siapa yang mendalilkan harus membuktikan. Maksudnya adalah seseorang yang menyatakan sesuatu atau mendalilkan sesuatu, harus mampu membuktikan apa yang telah ia nyatakan atau dalilkan tersebut. Terdapat berbagai macam alat bukti dalam proses pembuktian, yaitu:
- Surat;
- Saksi;
- Persangkaan;
- Pengakuan; dan
- Sumpah.
Selain alat bukti di atas, terdapat alat bukti lainnya misalnya alat bukti fisik seperti foto, rekaman video dan lain sebagainya.
Ketika perusahaan membuat tuduhan atau ancaman terkait ganti kerugian yang diakibatkan kelalaian pekerja, maka perusahaan harus mampu memberikan bukti adanya kelalaian tersebut. Jika perusahaan tidak mampu memberikan bukti, maka tuduhan atau ancaman tersebut dapat menjadi fitnah. Dalam hukum, fitnah masuk ke dalam hukum pidana yang mana diatur di dalam Pasal 311 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:
“Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tidak dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukum penjara selama-lamanya empat tahun.”
Pasal di atas selanjutnya dapat dikaitkan juga dengan Pasal 310 ayat (1) KUHP yang berbunyi:
“Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan…”
Selanjutnya terkait dengan ancaman potongan upah untuk ganti rugi, juga tidak boleh sembarang. Terdapat aturan atau ketentuan yang harus diikuti baik dari pengusaha maupun pekerja agar dapat memotong upah untuk mengganti rugi kerugian perusahaan. Kita dapat memahami pemotongan upah tersebut di dalam Pasal 63 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yang berbunyi:
“Pemotongan Upah oleh Pengusaha dapat dilakukan untuk pembayaran:
- denda;
- ganti rugi;
- uang muka Upah;
- sewa rumah dan/atau sewa barang milik Perusahaan yang disewakan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh;
- utang atau cicilan utang Pekerja/Buruh; dan/atau
- kelebihan pembayaran Upah.”
Dapat kita lihat bahwasannya memang perusahaan dapat memotong upah pekerja untuk ganti rugi. Namun perlu dilaksanakan 2 ketentuan lain yang diatur pada Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yang berbunyi:
Pasal 63 ayat (2)
“Pemotongan Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c dilakukan sesuai dengan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.”
Pasal 63 ayat (3)
“Pemotongan upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e harus dilakukan berdasarkan kesepakatan tertulis atau perjanjian tertulis.”
Artinya pemotongan upah untuk ganti rugi baru bisa dilaksanakan jika diatur di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan harus didasarkan pada kesepakatan tertulis atau perjanjian tertulis yang menyatakan bahwa para pihak sepakat untuk melaksanakan pemotongan upah.
Pemaksaan Pengunduran Diri
Pada dasarnya, hubungan antara pekerja dan pengusaha saling mengikatkan diri dalam suatu perikatan di dalam perjanjian kerja dengan dasar kesepakatan. Asas dari perjanjian ini disebut dengan asas konsensualisme. Yang dimaksud dengan asas konsensualisme adalah asas dimana para pihak yang mengadakan perjanjian harus sepakat dalam setiap isi atau hal-hal yang pokok dalam perjanjian yang dibuat. Asas ini juga menjadi syarat sah suatu perjanjian, sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Adapun pengakhiran perjanjian tidak dapat dilakukan dengan sembarang. Melainkan perlu memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku. Di dalam Pasal 1338 KUH Perdata menjelaskan beberapa cara pengakhiran perjanjian, yaitu sebagai berikut:
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undangan. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Dalam pasal tersebut kita dapati dua cara pengakhiran perjanjian, yaitu dengan kesepakatan atau dengan alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Undang-undang ketenagakerjaan mengatur 5 alasan pengakhiran perjanjian kerja yang disebutkan di dalam Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yaitu:
- pekerja/buruh meninggal dunia; ·
- berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
- selesainya suatu pekerjaan tertentu;
- adanya putusan pengadilan dan/atau putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
- adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Artinya, dalam pengakhiran perjanjian kerja hanya terdapat 6 alasan, yaitu karena kesepakatan dan karena alasan yang disebutkan di dalam Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di atas.
Perjanjian sendiri sebenarnya dapat dibatalkan secara sepihak selama memenuhi ketentuan sebagaimana diatur di dalam Pasal 1266 KUH Perdata yang berbunyi:
“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andai kata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan.
Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka Hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dan satu bulan.”
Jika kita sederhanakan maksud dari pasal di atas, maka kita dapat memahami ketentuan-ketentuannya sebagai berikut:
- Pembatalan atau pengakhiran perjanjian harus dicantumkan di dalam perjanjian;
- Pembatalan atau pengakhiran diikuti dengan tidak dipenuhinya kewajiban oleh salah satu pihak;
- Pembatalan atau pengakhiran dimintakan kepada pengadilan untuk diputuskan pembatalan atau pengakhirannya.
Artinya, pengakhiran sepihak ini dapat dilakukan namun tetap dalam koridor proses hukum pembatalan perjanjian di pengadilan. Bukan dengan pengakhiran oleh diri sendiri.
Lalu bagaimanakah hukum terkait dengan tekanan dan paksaan yang diberikan perusahaan kepada pekerja, agar pekerja mau menandatangani surat pengunduran diri? Dalam hal perjanjian atau pernyataan dibuat dengan paksaan, maka perjanjian atau pernyataan tersebut tidaklah berkekuatan hukum. Hal ini sejalan dengan Pasal 1321 KUH Perdata yang berbunyi:
“Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.”
Pasal di atas ditegaskan dan dijelaskan kembali di dalam Pasal 1325 yang berbunyi:
“Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang dibuat itu.”
Jelas secara terang bahwa suatu perjanjian atau pernyataan batal dan tidak memiliki kekuatan hukum jika dibuat dengan adanya unsur paksaan. Maksudnya adalah suatu perjanjian atau pernyataan yang dibuat dengan adanya unsur paksaan dianggap tidak pernah ada.
Dengan demikian, jelas bahwa seharusnya perjanjian atau pernyataan pengunduran diri para pekerja di Perusahaan Brand Lokal tidak memiliki kekuatan hukum dan batal. Sehingga dianggap tidak pernah terjadi pengunduran diri dari para pekerja tersebut. Peristiwa-peristiwa serupa mungkin banyak dialami oleh pekerja di perusahaan lain. Mereka tidak berani melawan sebab tidak mengetahui ketentuan yang diatur di dalam hukum, khususnya yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Sehingga memahami ketentuan hukum ketenagakerjaan sangatlah penting sebagai dasar pengetahuan agar tidaklah terjadi pemaksaan pengunduran diri dan/atau ancaman ganti rugi.