Diperbaruinya undang-undang ketenagakerjaan Indonesia membawa aturan baru seperti uang kompensasi. Pada era Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Indonesia belum mengenal benefit pemberian hak akibat putus hubungan kerja bagi pekerja PKWT. Hak yang timbul untuk pekerja PKWT biasanya diatur secara otonom oleh masing-masing perusahaan, baik di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Sebutan benefitnya pun beraneka ragam. Ada yang menyebutnya dengan uang apresiasi masa kerja, uang pisah, uang sangu, dan sebagainya.
Pembaruan undang-undang ketenagakerjaan dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) menghadirkan hak baru bagi pekerja PKWT yang putus hubungan kerjanya, yaitu uang kompensasi. Adapun pengaturan terkait uang kompensasi diatur di dalam Pasal 61A ayat (1) UUCK yang berbunyi:
“Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada pekerja/buruh”
Pasal ini memberikan angin segar bagi pekerja PKWT. Dengan adanya peraturan ini akan memberikan penghasilan tambahan bagi pekerja PKWT pasca putus hubungan kerjanya sesuai ketentuan pasal di atas. Perhatikan, bunyi ayat di atas menggunakan kata “wajib” dalam kalimatnya, sehingga pemberian uang kompensasi merupakan suatu kewajiban bagi pengusaha. Lalu timbul pertanyaan “Apakah terdapat sanksi jika pengusaha tidak memberikan uang kompensasi kepada pekerja PKWT yang memenuhi kriteria sebagaimana disebutkan Pasal 61A ayat (1)?” Jawaban dari pertanyaan ini haruslah dijawab berdasarkan undang-undang. Perlu kita tanyakan lagi, apakah undang-undang mengatur sanksi jika pengusaha tidak membayarkan uang kompensasi?
Sanksi jika pengusaha tidak membayarkan hak uang kompensasi kepada pekerja PKWT dijelaskan di dalam Pasal 190 ayat (1) UUCK yang pada pokoknya menyatakan bahwa pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang sesuai kewenangannya mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran pasal-pasal yang salah satunya adalah pasal 61A. Lalu apa saja yang disebut dengan sanksi administratif? Adapun jenis-jenis sanksi administratif khususnya di dalam hokum ketenagakerjaan dapat kita temui di dalam peraturan turunan dari UUCK yaitu pada Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja pada Pasal 61, yaitu:
- Teguran tertulis;
- Pembatasan kegiatan usaha;
- Penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi; dan
- Pembekuan kegiatan usaha.
Adanya sanksi administratif ini dapat memberikan rasa tenang bagi pekerja. Namun kiranya, sanksi administratif seperti ini tidak dapat berjalan dengan sendirinya. Perlu ada peran aktif dari pekerja untuk menyampaikan laporan kepada pemerintah pusat yang dalam hal ini adalah kementerian ketenagakerjaan atau kepada pemerintah daerah yang dalam hal ini adalah dinas tenaga kerja provinsi atau kabupaten/kota. Tanpa adanya peran pekerja dalam melaporkan pelanggaran, sanksi administratif ini hanya akan menjadi pemanis di dalam bab sanksi undang-undang.