Ketentuan PHK Karena Mangkir: Sebelum Dan Setelah UUCK

Setelah 7 tahun lamanya, akhirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK). Banyak ketentuan hukum yang diubah di dalamnya. Salah satunya adalah ketentuan tentang PHK karena mangkir. Secara sederhana mangkir dapat diartikan sebagai ketidakhadiran tanpa keterangan. Oleh karena terjadi perubahan ketentuan di dalam UUCK, maka kita harus pula tahu apa saja ketentuan yang berubah dan apa dampak dari perubahan tersebut. Kali ini, akan kita ulas perubahan pengaturan PHK karena mangkir dan dampak yang ditimbulkan dari perubahan tersebut.

1. Perubahan Pengaturan PHK Karena Mangkir

Sebelumnya, PHK karena mangkir sudah dikenal dan diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu pada Pasal 168 ayat (1) yang berbunyi:

“Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri”

Sedangkan di dalam UUCK pasal 168 tersebut telah dihapus dan dipindah serta diubah dengan Pasal 154A ayat (1) huruf j yang berbunyi:

“Pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis.”

Perhatikan bahwa terdapat kalimat yang hilang di dalam pengaturan mangkir yang diatur oleh UUCK, yaitu “dapat diputus  hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri”. Kalimat ini hilang karena tidak semua pekerja yang melakukan mangkir memiliki itikad atau niat mengundurkan diri. Pada dasarnya pengunduran diri dasarkan pada niat pekerja. Karena pengunduran diri merupakan salah satu jenis PHK yang bersumber dari pekerja bukan dari pengusaha. Sehingga pelaksanaannya harus didasarkan pada itikad atau niat pekerja sendiri, bukan karena paksaan atau keadaan/kondisi lainnya. Jika pekerja mangkir tetapi tidak ada niatan untuk mengundurkan diri dan masih ingin dipekerjakan, apakah dapat dikualifikasikan sebagai mengundurkan diri? Tentu saja tidak. Sehingga kalimat tersebut dihilangkan karena sudah tidak relevan lagi untuk digunakan.

Ada beberapa faktor yang membuat pekerja mangkir tetapi tidak beritikad mengundurkan diri, diantaranya adalah karena:

  1. Ada unsur paksaan dari pihak pengusaha yang membuat pekerja tidak masuk tanpa keterangan;
  2. Keadaan kesehatan dan ekonomi yang tidak mendukung;
  3. Kondisi  hubungan kerja (misal pekerja tidak menerima di mutasi ke tempat lain atau hal lain yang berkaitan dengan hubungan kerja);
  4. Alat komunikasi; dan lain sebagainya.

Sebagai contoh, semisal pekerja sakit dan oleh karena keadaan ekonominya ia tidak bisa ke rumah sakit serta tidak pula didaftarkan pada program jaminan sosial yang membuat dirinya dirawat di rumah tanpa ada keterangan dan bukti sakit yang sah dari rumah sakit. Kasus-kasus seperti contoh tersebut tidak jarang terjadi. Pekerja yang menjadi korban tidak dapat melakukan apa-apa jika terkena PHK karena mangkir. Padahal keadaannya sangat membutuhkan dorongan ekonomi dari pekerjaannya.

2. Dampak yang Ditimbulkan 

Setelah kita mengetahui ketentuan yang berubah dan alasan perubahannya, selanjutnya mari kita pahami dampak yang timbul akibat perubahan tersebut. Akibat hilangnya kualifikasi mengundurkan diri dalam PHK karena mangkir maka dampak yang jelas dapat kita amati adalah dari segi tata cara pelaksanaan PHKnya.

Di dalam UUCK telah diatur tata cara melaksanakan PHK dengan sangat detil. Salah satu yang diatur adalah terkait pemberitahuan PHK yang diatur di dalam Pasal 151 ayat (2) UUCK. Namun perlu diperhatikan bahwa undang-undang ini juga mengatur alasan-alasan PHK yang tidak membutuhkan pemberitahuan. Adapun pasal yang mengatur alasan PHK yang tidak membutuhkan pemberitahuan PHK adalah Pasal 151A UUCK yang berbunyi:

“Pemberitahuan sebagaimana dimaksud Pasal 151 ayat (2) tidak perlu dilakukan oleh pengusaha dalam hal:

  1. Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri;
  2. Pekerja/buruh dan pengusaha berakhir hubungan kerjanya sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu;
  3. Pekerja/buruh mencapai usia pension sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; atau
  4. Pekerja/buruh meninggal dunia”

Sebagaimana pasal tesebut, pengunduran diri pekerja tidak membutuhkan surat pemberitahuan. Dalam hal UUCK masih mengatur mangkir dikualifikasikan mengundurkan diri maka dalam hal pekerja mangkir, pengusaha tidak perlu memberikan surat pemberitahuan PHK kepada pekerjan. Tetapi oleh karena UUCK tidak mengkualifikasikan mangkir sebagai pengunduran diri maka pengusaha harus memberikan surat pemberitahuan PHK terlebih dahulu setelah memberikan surat pemanggilan kerja sebanyak 2x secara patut sebelum melakukan PHK. 

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp