Kompensasi merupakan hak khusus yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Hak khusus ini diberikan kepada pekerja dengan hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang habis masa kerjanya atau selesainya pekerjaan tertentu. Selain mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pemerintah juga mengeluarkan peraturan turunannya yang mengatur teknis pemberian kompensasi di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, WKWI, dan PHK (PP 35/2021).
Kontradiksi Kewajiban Membayar Kompensasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud dengan kontradiksi adalah pertentangan antara dua hal yang sangat berlawanan atau bertentangan. Dalam hal ini, kontradiksi yang dimaksud adalah pertentangan dua peraturan yaitu Undang-Undang Cipta Kerja dengan PP 35/2021 yang sangat berlawanan mengenai kewajiban pembayaran kompensasi. Apa yang menjadikannya kontradiksi? Mari kita bahas bersama-sama.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja khususnya pada Pasal 61A ayat (1) mengatur kewajiban pembayaran kompensasi sebagai berikut:
“Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada pekerja/buruh.”
Perhatikan! Dalam ayat ini hanya ada dua keadaan yang membuat kompensasi wajib dibayarkan kepada pekerja, yaitu jika PKWT berakhir sesuai dengan Pasal 61 ayat (1) huruf b dan huruf c. Keadaan apa dimaksud dari ayat tersebut? Mari kita buka kembali Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja:
“Perjanjian kerja berakhir apabila:
- pekerja/buruh meninggal dunia; ·
- berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
- selesainya suatu pekerjaan tertentu;
- adanya putusan pengadilan dan/atau putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
- adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.”
Dapat kita simpulkan, keadaan yang dapat membuat kompensasi menjadi wajib dibayarkan adalah apabila perjanjian kerja waktu tertentu berakhir ketika berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Namun terjadi kontradiksi yang sangat mencolok dalam pengaturan kewajiban pembayaran kompensasi di dalam PP 35/2021.
Jika kita membaca Pasal 17 PP 35/2021 maka kita akan mendapati bahwa kewajiban pembayaran kompensasi tidak hanya diberikan jika jangka waktu PKWT berakhir atau selesainya suatu pekerjaan saja. Adapun bunyi pasal yang dimaksud adalah sebagai berikut:
“Dalam hal salah satu pihak mengakhiri Hubungan Kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT, Pengusaha wajib memberikan uang kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) yang besarannya dihitung berdasarkan jangka waktu PKWT yang telah dilaksanakan oleh Pekerja/Buruh”
Dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa pengusaha juga wajib memberikan kompensasi jika salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum PKWT berakhir. Pasal ini tentunya sangat berlawanan secara kontras dengan aturan kewajiban pembayaran kompensasi di dalam UUCK. Hal yang menjadikan kedua peraturan ini menjadi kontradiktif adalah karena di dalam UUCK memberikan suatu syarat atau keadaan khusus dalam kewajiban pembayaran kompensasi. Namun syarat atau keadaan khusus yang telah diatur oleh UUCK dibenturkan dengan bunyi Pasal 17 PP 35/2021 tersebut.
Dampak Kontradiksi Kewajiban Pembayaran Kompensasi
Terjadinya kontradiksi antara undang-undang dengan peraturan turunannya tentunya akan berdampak pada pelaksanaan dari kedua peraturan tersebut. Akan terjadi kebingungan dan ketidakjelasan implementasi atau interpretasi hukum masyarakat. Banyak sekali pengusaha atau pekerja yang bertanya-tanya mengenai kontradiksi kewajiban pembayaran kompensasi ini. Karena kontradiksi ini menimbulkan dampak yang besar baik kepada pengusaha maupun pekerja. Adapun dampak yang akan terjadi adalah sebagai berikut:
- Ketidakjelasan mengenai pemberian kompensasi jika pekerja diputus hubungan kerjanya sebelum masa kerja berakhir atau selesainya suatu pekerjaan tertentu;
- Ketidakpastian mengenai pemberian kompensasi jika pekerja memutus hubungan kerja sebelum selesainya suatu pekerjaan atau sebelum berakhirnya masa kerja;
- Menimbulkan kerugian bagi perusahaan jika jelas-jelas pekerja melakukan tindakan yang merugikan perusahaan sehingga mengakibatkan putusnya hubungan kerja namun tetap harus membayarkan kompensasi
Ketiga dampak di atas secara umum terjadi di perusahaan. Solusi dari dampak tersebut juga didasarkan secara kontekstual. Jika yang merasa dirugikan adalah pekerja, maka kita bisa menggunakan Pasal 17 PP 35/2021 sebagai dasar pemberian kompensasi. Namun jika yang dirugikan adalah pihak perusahaan, maka kita dapat menggunakan Pasal 61A ayat (1) UUCK sebagai batasan kewajiban pembayaran kompensasi.
Pengaturan Khusus Pembayaran Kompensasi Di dalam PP/PKB
Salah satu langkah aman yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk menghindari kerugian atas pembayaran kompensasi adalah dengan mengatur pembayaran kompensasi di dalam PP/PKB. Pengusaha dapat memberikan batasan-batasan tertentu dalam pemberian kompensasi. Misalnya perusahaan dapat mengatur bahwa kompensasi tidak diberikan apabila:
- Pekerja melakukan alasan-alasan mendesak seperti mencuri, menipu, merusak aset perusahaan dan sebagainya;
- Pekerja melakukan pelanggaran indisipliner yang membuat perusahaan merugi;
- Pekerja tidak menyelesaikan pekerjaannya; dan lain sebagainya.
Contoh-contoh di atas dapat diatur secara variatif selama memiliki alasan yang logis dan didasarkan atas itikad baik. Selama perusahaan dapat menjelaskan maksud dan tujuan diaturnya pembatasan kewajiban pembayaran kompensasi kepada pekerja atau serikat pekerjanya, maka bukan tidak mungkin pengaturan tidak diberikannya kompensasi seperti contoh di atas dapat diatur di dalam PP/PKB.