Usaha milik negara disebut sebagai pemilik tunggal kekayaan negara yang sah. Sesuai dengan Pasal 33 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, negara berwenang mengolah sumber daya bangsa untuk kepentingan hajat hidup banyak orang. Tercantumnya pasal dalam staatsgrund tersebut harapannya tak lain dan tak bukan adalah agar masyarakat dapat merasakan manfaat dari pengelolaan sumber daya yang dilakukan, sehingga terwujudlah kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini juga termasuk pada pemenuhan hak para pekerja yang mengabdi pada usaha milik negara sesuai dengan beleid ketenagakerjaan yang berlaku. Peraturan bisa saja berkata demikian. Namun, bagaimana jika hal tersebut berkebalikan dengan kenyataan?
Jiwasraya salah satunya. BUMN yang mengelola asuransi masyarakat tersebut sudah barang jadi pembicaraan masyarakat lantaran tersandung kasus korupsi dana nasabah. Belum cukup sampai situ, di akhir tahun 2022, Jiwasraya berencana untuk melakukan PHK tanpa alasan yang jelas pada pekerjanya. Bahkan dalam beberapa berita dan keterangan disebutkan bahwa pekerja Jiwasraya dipaksa untuk melakukan pengunduran diri. Selain itu, ada juga pekerja yang sudah dijanjikan migrasi ke IFG Life, perusahaan milik negara yang mendapat pengalihan aset Jiwasraya. Tetapi, Jiwasraya justru seolah lupa dengan janji tersebut.
Keterangan ini sangat berkebalikan dengan perkataan Kementerian Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa apabila masih terdapat opsi pencegahan PHK, perusahaan dilarang melakukan PHK pada pekerjanya. Jiwasraya tentu bisa memberdayakan pekerjanya karena masih terdapat objek pekerjaan. Sesuai UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah disesuaikan dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, salah satu unsur hubungan kerja adalah pekerjaan. Jika masih terdapat pekerjaan, maka hubungan kerja tidak bisa diputuskan begitu saja. Sebagai BUMN, Jiwasraya merupakan candradimuka, role model perusahaan lain untuk dapat mengikuti ketentuan pemerintah. Mengherankan melihat fakta bahwa BUMN sendiri pun tidak sejalan dengan pemerintah.
Selain itu, dalam keterangannya dengan media, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan bahwa cara untuk meminimalisasi PHK adalah dengan menurunkan gaji Direktur sampai Komisaris dan memotong fasilitas serta tunjangan yang tidak penting. Akan tetapi, Jiwasraya justru tetap mempertahankan pengeluaran tidak penting tersebut. Padahal, Jiwasraya sendiri yang menyampaikan kondisi keuangan perusahaan merugi hingga 16, 81 Triliun. Jika memang semua lini perusahaan merugi, tentu tidak masuk akal jika yang dilakukan sebagai efisiensi hanyalah dari sisi tenaga kerja.
Hal ini dapat membuat preseden yang buruk, bukan hanya bagi BUMN, BUMD, atau anak perusahaan BUMN atau BUMD, namun juga bagi perusahaan swasta. Iklim investasi yang digemborkan pemerintah tidak dapat diwujudkan jika terdapat kebingungan di dalam tubuh pemerintah dan BUMN dalam melaksanakan peraturan. Terlebih rasionalisasi disamakan dengan pengunduran diri dan adanya degradasi hak-hak pekerja. Tindakan ini menabrak hukum yang berlaku dan melanggar ketentuan ketenagakerjaan.
Untuk dapat mengatasi perbedaan pendapat tersebut, perlu adanya sinkronisasi yang dilakukan pemerintah dengan BUMN yang bersangkutan sehubungan dengan ketentuan PHK. Kasus seperti ini harus dikawal secara maksimal dan dicari titik tengahnya. Kementerian Ketenagakerjaan juga harus menindak tegas dan tampil sebagai wakil pemerintah untuk perusahaan yang mengabaikan ketentuan. Terlebih jika perusahaan tersebut merupakan BUMN. Sudah banyak dosa-dosa yang Jiwasraya lakukan pada pekerjanya, namun Kementerian seperti sengaja tutup mata dan mulut dengan hal tersebut. Sebagai pemerintah, Kementerian Ketenagakerjaan harus aktif melakukan tindakan pengawasan kepada Jiwasraya dan memastikan bahwa hak pekerja Jiwasraya diberikan sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan.