Tahun 2022 merupakan tahun yang sulit bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia. Selain harus menghadapi virus Covid 19, para pengusaha juga harus mampu beradaptasi dengan ketahanan ekonomi secara mikro maupun makro. Pasalnya tidak sedikit perusahaan yang kolaps dan akhirnya melakukan restrukturisasi atau efisiensi. Bengkaknya biaya operasional, khususnya labour cost membuat beberapa pengusaha akhirnya memilih jalur pemutusan hubungan kerja sebagai langkah dalam mengamankan dan mempertahankan keberlangsungan usahanya.
Salah satu perusahaan asuransi BUMN sudah melakukan perjuangan mati-matian demi mengamankan dan mempertahankan keberlangsungan usahanya sejak akhir tahun 2020 sampai dengan tahun 2022. Pada awal tahun 2021, perusahaan asuransi BUMN tersebut digugat atas gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh beberapa krediturnya ke Pengadilan Niaga. Sebelum terjadinya gugatan tersebut, perusahaan asuransi BUMN telah melakukan banyak hal seperti melakukan restrukturisasi polis, optimalisasi aset properti, penerbitan medium term notes (MTN), sampai dengan optimalisasi aset investasi berupa gain atas obligasi. Namun usaha tersebut ditolak oleh banyak nasabah yang berkumpul dalam suatu forum. Segala upaya tersebut dilakukan untuk mencegah likuidasi perusahaan.
Di bulan penutup tahun 2022 ini terdengar lagi kabar dari perusahaan asuransi BUMN yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terhadap ratusan pekerjanya. Tentu hal ini menjadi sorotan publik. Utamanya, perjalanan perusahaan tersebut dalam mempertahankan bisnis dan usahanya agar terhindar dari likuidasi telah hangat menjadi buah bibir sejak tahun 2020 lalu. Banyak kontroversi yang terjadi dibalik pelaksanaan PHK pekerja tersebut. Utamanya terkait alasan PHK dan juga hak-hak yang didapatkan pekerja pasca PHK. Tidak sedikit media yang mengabarkan bahwa terjadi pemaksaan pengunduran diri (resign) oleh perusahaan kepada para pekerja yang akan di PHK tersebut.
Sebelum membahas lebih jauh, perlu dipahami kembali apa yang dimaksud dengan likuidasi. Likuidasi adalah pembubaran perusahaan oleh likuidator dan sekaligus pemberesan dengan cara melakukan penjualan harta perusahaan, penagihan piutang, pelunasan utang, dan penyelesaian sisa harta atau utang di antara para pemilik. Menurut Pasal 142 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, terdapat 6 alasan perusahaan dapat dilikuidasi, yaitu:
- Dibubarkan atas dasar keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS);
- Habis jangka waktu berdirinya berdasarkan AD/ART yang diputuskan oleh pengadilan;
- Ditetapkan bubar oleh pengadilan;
- Harta pailit perusahaan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
- Harta pailit perusahaan telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi (tidak mampu membayar utang/PKPU);
- Dicabut izin usahanya.
Proses likuidasi atau pembubaran perusahaan akan dilaksanakan oleh seorang likuidator yang ditunjuk oleh pengadilan. Sebagaimana yang diketahui bahwa perusahaan asuransi BUMN ini sudah beberapa kali digugat untuk gugatan PKPU. Dalam hal pengadilan niaga memutuskan perusahaan tersebut melakukan PKPU, maka putusan tersebut tidak mengubah status badan hukum dari perusahaan menjadi bubar. Untuk melakukan pembubaran perusahaan, maka dibutuhkan langkah likuidasi oleh likuidator.
Beberapa media mengabarkan bahwa sebelum PHK dilaksanakan, para pekerja di perusahaan asuransi BUMN tersebut dijanjikan akan dimigrasikan ke salah satu perusahaan holding asuransi BUMN. Proses migrasi ini tentu akan mengakibatkan pengalihan hubungan kerja. Maka dari itu dibutuhkan proses pengakhiran hubungan kerja terlebih dahulu sebelum hubungan kerja dialihkan. Namun janji tersebut tidak ditepati dan justru berujung pada pemutusan hubungan kerja tanpa pengalihan hubungan kerja.
Menilik lebih jauh, terdengar kabar bahwa alasan yang digunakan oleh perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja karena efisiensi. Masih belum diketahui, jenis alasan efisiensi apa yang digunakan manajemen untuk melakukan PHK. Apakah efisiensi untuk mencegah kerugian atau efisiensi disertai dengan kerugian. Kepastian alasan PHK ini tentunya harus diperhatikan. Sebab, alasan PHK akan berpengaruh terhadap besaran hak yang diterima pekerja pasca PHK. Namun parahnya, demi menghindari pesangon dan uang penghargaan masa kerja manajemen melakukan pemaksaan pengunduran diri (resign). Jika benar pekerja dipaksa resign dan pekerja sepakat melakukan resign maka hak pasca PHK yang didapat hanya uang pisah dan uang penggantian hak, sebagaimana diatur di dalam Pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, WKWI, dan PHK.
Dalam hal perusahaan asuransi BUMN mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka seharusnya hak pasca PHK yang diberikan lebih besar dari pada hak jika pekerja di PHK karena resign. Bisa diasumsikan bahwa perusahaan yang sedang melalui proses likuidasi dapat disamakan dengan perusahaan yang pailit sebab kedua-duanya sama-sama mengakibatkan tutupnya suatu perusahaan. Maka dalam hal ini, perusahaan asuransi BUMN dapat menggunakan alasan PHK karena perusahaan mengalami kepailitan sebagaimana diatur di dalam Pasal 47 Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, WKWI, dan PHK, yaitu mendapatkan hak-hak sebagai berikut:
- Pesangon sebesar 0,5 kali ketentuan uang pesangon;
- Uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali ketentuan uang penghargaan masa kerja; dan
- Uang penggantian hak.
Hak-hak tersebut tentu akan jauh lebih besar perhitungannya, jika dibandingan dengan hak yang diberikan PHK dengan alasan pengunduran diri (resign).
Perlu diperhatikan bahwa jika pekerja dipertahankan sampai dengan proses likuidasi selesai dilaksanakan, maka hak atas upah dan hak lain yang berlum diterima oleh pekerja menjadi hutang yang didahulukan pembayarannya. Hal ini senada dengan bunyi Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan yang menyatakan:
“Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, upah dan hak lainnya yang belum diterima oleh pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya” (Pasal 95 ayat (1))
“Upah pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya sebelum pembayaran kepada semua kreditur” (Pasal 95 ayat (2))
Pada pasal tersebut, yang dimaksud dengan hak lainnya adalah termasuk di dalamnya uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, hak sisa cuti, dan hak-hak lainnya. Sehingga kemungkinan terjadinya pemaksaan resign yang dilakukan oleh manajemen adalah untuk menghindari pembengkakan labour cost pasca PHK saat proses likuidasi selesai.