Dalam ruang ketenagakerjaan Indonesia, kita mengenal istilah pencegahan dan penghindaran PHK. Semua pihak dalam hubungan industrial baik pekerja, serikat pekerja/serikat buruh, pengusaha, maupun pemerintah memiliki tanggung jawab atas pencegahan PHK sebagaimana disebutkan dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Watu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Langkah-langkah preventif yang biasanya dilakukan untuk mencegah terjadinya PHK adalah dengan melakukan pemaksimalan penanganan keluh kesah, pemaksimalan fungsi LKS Bipartit atau melakukan upaya penghindaran PHK sebagaimana disebutkan di dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 643 tahun 2005 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), yaitu dengan cara:
- Melakukan efisiensi biaya produksi;
- Mengurangi upah pekerja/buruh pada tingkat manajerial;
- Mengurangi waktu kerja lembur;
- Menawarkan pension dini kepada pekerja/buruh yang sudah memenuhi syarat;
- Merumahkan pekerja/buruh sementara waktu secara bergantian.
Selain pencegahan PHK, para pihak di dalam hubungan industrial juga harus mencegah terjadinya perselisihan yang timbul akibat PHK. Perselisihan PHK ini tidak hanya dapat terjadi sebelum atau sesaat PHK ditunaikan, tetapi juga dimungkinkan timbul setelah terjadinya PHK. Misalnya perselisihan PHK yang terjadi karena alasan PHK tidak sesuai yang mengakibatkan besaran kompensasi menjadi tidak sesuai pula yang terjadi setelah proses PHK selesai dilaksanakan. Hal ini tentunya akan mengganggu ketenangan berusaha. Padahal seharusnya perusahaan sudah bisa merasa tenang karena proses PHK sudah selesai tetapi malah harus kembali menangani perselisihan yang dimohonkan oleh pekerja. Untuk itu, perlu adanya pencegahan perselisihan setelah terjadinya PHK untuk meminimalisasi potensi terjadinya perselisihan PHK.
Perlu kita ketahui bersama bahwa perselisihan PHK tidak mengenal masa daluwarsa atau tenggang waktu utamanya saat perselisihan PHK ini digugat ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Meskipun memang sebelumnya pernah ada masa daluwarsa gugatan PHK ke PHI yaitu 1 (satu) tahun setelah terjadinya PHK sebagaimana disebutkan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, namun ketentuan daluwarsa gugatan PHK ini telah diputuskan bertentangan dengan undang-undang oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114 Tahun 2015 sehingga gugatan PHK tidak lagi memiliki tenggang waktu dan gugatan bisa diajukan kapanpun ke PHI. Dengan demikian penting bagi perusahaan ataupun pekerja untuk melakukan pencegahan PHK pasca terjadinya PHK.
Pencegahan perselisihan yang dilakukan setelah terjadinya PHK dapat dilakukan dengan cara membuat perjanjian bersama dan mendaftarkannya ke Pengadilan Hubungan Industrial pada wilayah dimana perjanjian tersebut dibuat untuk mendapatkan akta pendaftaran perjanjian bersama. Dengan adanya perjanjian bersama yang telah memiliki akta pendaftaran akan mempersulit proses perselisihan PHK timbul. Kekuatan perjanjian bersama ini berlaku sama seperti undang-undang bagi para pihak sebagaimana dijelaskan pada Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam hal salah satu pihak ingkar atas perjanjian dengan memohonkan perselisihan PHK maka pihak yang menyatakan berselisih setelah adanya perjanjian bersama harus membatalkan perjanjian bersama tersebut terlebih dahulu secara perdata kepada Pengadilan Negeri baru setelahnya mengajukan gugatannya ke PHI. Proses ini akan mencegah atau setidaknya dapat menghambat terjadinya perselisihan PHK.
Perlu diperhatikan bersama bahwa PHI tidak memiliki kewenangan absolut dalam membatalkan perjanjian bersama. Adapun kewenangan yang dimiliki oleh PHI adalah menyelesaikan perkara perselisihan hubungan industrial sebagaimana disebutkan pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Perkara pembatalan perjanjian bersama di PHI biasanya ditolak oleh karena tidak adanya kewenangan absolut tersebut, sehingga antara pembatalan perjanjian bersama dan perselisihan PHK harus dilakukan di dua pengadilan yang berbeda.
Dalam hal pekerja memohonkan perselisihannya kepada perusahaan atau sebaliknya, maka pihak yang dimohonkan berhak menolak permohonan perselisihan dan meminta pembatalan perjanjian bersama terlebih dahulu atau jika perselisihan sudah sampai kepada proses litigasi di PHI, maka pihak tergugat dapat menyampaikan penolakan atas gugatan melalui eksepsi dan memohonkan amar putusan untuk tidak menerima putusan (Niet Ordelijk) dengan alasan gugatan cacat formil karena belum ada pembatalan perjanjian bersama. Melihat besarnya dampak pencegahan yang dapat dilakukan oleh perjanjian bersama pasca PHK, maka baik pengusaha maupun pekerja yang memiliki kepentingan untuk mencegah terjadinya perselisihan PHK dikemudian hari pasca PHK harus segera mendaftarkan perjanjian bersama tersebut ke PHI