Perspektif Hukum Ketenagakerjaan: Perlindungan Hak Pekerja Pramuniaga

Belakangan ini beredar sebuah berita mengenai seorang pramuniaga pada salah satu mini market yang dituntut saat melaksanakan tugas dan kewajibannya. Kronologi singkatnya telah terjadi pencurian di salah satu mini market di Tanggerang. Pelaku dari kasus pencurian ini adalah seorang ibu-ibu yang mencuri cokelat di salah satu mini market tersebut. Demi melaksanakan tugas dan kewajibannya, salah satu pramuniaga menghampiri dan memergoki sang pelaku yang sudah berada di mobilnya. Kejadian ini lantas direkam dengan kamera handphone pramuniaga. Namun sang pelaku tidak terima dan memaksa pramuniaga tersebut untuk membuat video pernyataan maaf kepada media serta mengancamnya dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Pengancaman pelaku kepada pramuniaga untuk membuat video permintaan maaf dan ancaman tentang UU ITE dapat membuat pramuniaga merasa tertekan, takut, tidak nyaman, atau perasaan lainnya yang dapat mengakibatkan terganggunya pelaksanaan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas. Kasus ini mencuat ke publik dan viral serta menjadi perbincangan banyak orang. Kebanyakan orang menyoroti kasus ini hanya dari sudut pandang hukum pidana saja. Namun apakah kamu sadar bahwa terdapat aspek hukum ketenagakerjaan yang menarik untuk disoroti?

Kasus ini dapat dikategorikan sebagai kecelakaan kerja. Mengapa demikian? Karena kasus ini berkaitan dengan kejadian di tempat kerja pada waktu jam kerja dan menimbulkan kerugian. Kerugian yang dimaksud bukan dalam bentuk fisik, melainkan dalam bentuk mental. Kecelakaan kerja yang menimbulkan kerugian mental sangat jarang diangkat untuk dibahas. Padahal  pemberi kerja juga seharusnya dapat hadir untuk memberikan perlindungan kepada pekerja dari kecelakaan kerja yang menimbulkan kerugian mental dan pencegahan serta penanggulanngannya. Bagaimana hukum ketenagakerjaan mengatur hal ini?

1. Perlindungan Dalam Hukum Ketenagakerjaan

Sebagai hukum yang melindungi hak-hak tenaga kerja, hukum ketenagakerjaan tentunya mengatur terkait perlindungan dari keamanan bekerja. Salah satu pengaturannya dapat kita temukan di dalam Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 yang berbunyi:

“Setiap pekerja/buruh berhak untuk memperoleh perlindungan atas:

  1. Keselamatan dan kesehatan kerja:
  2. Moral dan kesusilaan;
  3. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama”

Dari ayat ini dapat kita pahami salah satu perlindungan yang menjadi hak pekerja adalah keselamatan  dan kesehatan kerja. Selama ini kita hanya berfokus pada keselamatan dan kesehatan kerja yang berhubungan dengan insiden atau accident  yang berkaitan dengan kecelakaan fisik saja. Padahal selain kecelakaan fisik, terdapat pula insiden atau accident yang berkenaan dengan mental.

Perlu kita pahami bersama apa itu insiden atau accident mental. Insiden mental adalah sebuah peristiwa atau kejadian yang hampir menimbulkan suatu kerugian mental. Sedangkan accident mental adalah sebuah peristiwa atau kejadian yang menimbulkan kerugian mental. Lalu apa itu kerugian mental? Kerugian mental dapat kita artikan sebagai sesuatu yang dapat mengurangi aspek mental atau menimbulkan penyakit mental. Dikutip dari salah seorang peneliti psikologi, Carol D Ryff tahun  1995, kata Elmy Bonavita seseorang dikatakan sehat mental ketika memenuhi beberapa aspek, yaitu:

  1. Self-acceptance (penerimaan diri);
  2. Mampu menjalin hubungan positif dengan lingkungan sosial;
  3. Mandiri;
  4. Environmental mastery (penguasaan diri terhadap lingkungan);
  5. Memiliki tunjuan hidup; dan
  6. Personal growth (pengembangan diri).

Sedangkan penyakit mental sendiri memiliki banyak jenisnya. Beberapa diantaranya adalah kecemasan berlebih, depresi, stres, ketakutan, rasa tidak nyaman dan sebagainya.

Lalu, apakah ada aturan dari undang-undang ketenagakerjaan yang mengatur terkait kewajiban pemberi kerja dalam melindungi pekerja dari kecelakaan mental? Tentu saja ada. Kewajiban tersebut tertuang di dalam Pasal 35 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang berbunyi:

“pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.”

Perlindungan yang dimaksud pada Pasal 86 dan Pasal 35 Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini diberikan sejak adanya hubungan kerja. Artinya, perlindungan ini juga diberikan pada saat pekerja melaksanakan pekerjaannya.

Salah satu bentuk perlindungan mental yang dapat diberikan oleh pemberi kerja adalah adanya kepastian dalam pemberian pembelaan ketika terjadi suatu insiden atau accident mental. Seperti pemberian bantuan asistensi, advokasi, atau rehabilitasi. Ketiga bantuan ini harusnya diatur pula di dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama sebagai dasar landasan perlindungan pekerja saat melaksanakan pekerjaannya.

2. Usaha Perlindungan yang Dapat Dilakukan Oleh Pemberi Kerja

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa terdapat bentuk perlindungan mental yang dapat dilakukan pemberi kerja yaitu asistensi, advokasi, dan rehabilitasi. Ketiga bentuk perlindungan ini akan kita kaitkan dengan contoh kasus di atas.

a. Asistensi

Bentuk perlindungan pertama yang dapat diberikan oleh pemberi kerja adalah asistensi. Pengertian asistensi sendiri menurut KBBI adalah membantu seseorang dalam tugas profesionalnya. Maksudnya pemberi kerja dapat memberikan bantuan berupa bimbingan kepada pekerja saat terjadi kecelakaan mental. Jika dikaitkan dengan kasus di atas maka asistensi dapat diberikan oleh Kepala mini market kepada pramuniaga ketika terjadi pengancaman. Sebagai perwakilan representasi pemberi kerja, kewajiban dari kepala mini market adalah melakukan pengawasan terhadap karyawan pada site–nya. Maka, apabila terjadi kecelakaan sebagaimana kasus di atas kepala mini market dapat memberikan asistensi dengan cara membantu memberikan penjelasan kepada pelaku terkait tugas dan wewenang pramuniaga.

b. Advokasi

Bentuk perlindungan kedua adalah advokasi atau pembelaan. Terdapat dua bentuk advokasi dalam hal ini, yaitu advokasi non hukum dan advokasi hukum. Advokasi non hukum yang dimaksud adalah pembelaan yang diberikan tanpa melalui proses hukum, sedangkan advokasi hukum adalah pembelaan yang diberikan melalui proses hukum. Jika dikaitkan dengan kasus, maka advokasi non hukum dapat dilakukan oleh Kepala mini market atau rekan sesama pramuniaga yang berada di lokasi dengan memberikan pembelaan dan pembenaran atas apa yang dilakukan oleh pramuniaga. Utamanya jika secara terang benderang kesalahan bukan terletak pada pramuniaga. Selanjutnya pemberi kerja dapat memberikan advokasi hukum sebagaimana yang sudah dilakukan oleh pihak manajemen dengan memberikan bantuan hukum kepada pramuniaga untuk menjalani proses hukum.

c. Rehabilitasi

Bentuk perlindungan terakhir adalah rehabilitasi atau pemulihan. Rehabilitasi ini dapat diberikan pemberi kerja kepada pekerja pasca kejadian. Sering kali kecelakaan mental menimbulkan trauma kepada pekejera, sehingga perlu pemulihan mental agar pekerja dapat pulih dan dapat bekerja kembali. Pemberian bantuan rehabilitasi ini dapat dilakukan dengan cara bekerja sama dengan klinik khusus psikiater. Dengan adanya rehabilitasi, kecelakaan mental dapat ditekan dampaknya sehingga dapat menimbulkan rasa aman saat melakukan pekerjaan.

Dari kasus ini kita dapat belajar, bagi seluruh perusahaan khususnya yang berfokus pada pelayanan seperti pramuniaga penting untuk melakukan langkah pencegahan dan penanggulangan jika terjadi insiden atau accident seperti kasus di atas.

Salah satu cara pencegahan dan penanggulangannya adalah dengan mengakomodasi peraturan terkait pencegahan dan penanggulangan insiden atau accident di dalam standar operasional prosedur (SOP) terkait tindak kejahatan pelanggan beserta langkah-langkah yang harus diambil pekerja jika terjadi tindak kejahatan tersebut. Selain mengatur di dalam SOP, perusahaan juga perlu memberikan pelatihan dan pemahaman pada atasan yang bertanggung jawab di setiap toko untuk menjadi perwakilan manajemen dalam menyediakan keamanan dan kenyamanan bekerja bagi para pekerja. Sehingga kejadian seperti kasus ini dapat diminimalisasi dengan ketegasan yang ditunjukan perusahaan.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp