Hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha dapat terbentuk jika dilandasi dengan itikad dan komunikasi yang baik. Black’s Law Dictionary mendefinisikan itikad baik atau good faith sebagai berikut:
“In or with good faith, honestly, openly and sincerely, without deceit or fraud truly, actually, without simulation or pretense.”
Definisi di atas selanjutnya diartikan lebih lanjut oleh M.L. Wry yang menyatakan bahwa itikad baik adalah perbuatan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa cilat-cilat, akal-akal, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan sendiri saja, tetapi juga dengan melihat kepentingan orang lain. Dasar itikad baik ini sangat dibutuhkan di dalam hubungan kerja. Sebab tanpa itikad baik, hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha tidak akan berjalan dengan harmonis.
Keharmonisan hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha tidak hanya didasarkan pada itikad baik, tetapi juga dengan komunikasi yang baik. Tanpa komunikasi yang baik, segala sesuatu yang terjadi di dalam hubungan kerja tidak akan tersampaikan dan dipahami oleh masing-masing pihak. Ketidakpahaman, ketidakmengertian, atau ketidakjelasan masalah yang ditangkap oleh masing-masing pihak akan berdampak pada timbulnya perselisihan. Dengan demikian, komunikasi berperan sangat penting dalam mewujudkan hubungan yang harmonis dan dinamis di dalam hubungan kerja.
Tidak harmonisnya hubungan kerja dapat berakibat pada pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini biasa disebut dengan hubungan kerja disharmonis. Hubungan kerja dapat diartikan sebagai tidak adanya itikad baik dari pekerja dan/atau pengusaha untuk tetap menjalin hubungan kerja yang baik. Disharmonis hubungan kerja dapat dimaknai pula dengan kondisi dimana pekerja tidak ingin dipekerjakan lagi dan/atau pengusaha yang tidak ingin mempekerjakan pekerja lagi. Menurut Putusan Mahkamah Agung, No. 296 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 28 Mei 2015 adalah baik pengusaha maupun pekerja telah kehilangan rasa kepercayaan satu sama lainnya sehingga hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha tidak lagi harmonis (disharmonis).Kondisi ini dapat terjadi karena banyak faktor. Beberapa faktor yang menyebabkan keadaan disharmonis ini terjadi adalah karena faktor sikap, lingkungan kerja, perbuatan tertentu, atau faktor prestasi dalam hubungan kerja.
Dalam beberapa kasus penyelesaian perselisihan hubungan industrial utamanya perselisihan PHK pada pengadilan hubungan industrial, banyak sekali putusan-putusan yang memuat pertimbangan hukum mengenai PHK karena disharmonis. Berikut adalah contoh putusan yang menggunakan alasan disharmonis untuk memutus perselisihan PHK beserta pertimbangan hukumnya:
Putusan Nomor 47/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Tpg
Duduk perkara dari putusan ini adalah tentang penggugat yang tidak menerima di-PHK karena alasan efisiensi, sebab penggungat sedang dalam melaksanakan tugasnya sebagai ketua pengurus serikat pekerja. Sehingga penggugat mengindikasi bahwa PHK tidak didasarkan pada efisiensi saja tetapi ada itikad buruk tergugat melakukan PHK karena penggugat sedang dalam melaksanakan tugas keserikatpekerjaan.
Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim yang memeriksa perkara a quo berpendapat mengenai PHK karena disharmonis dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Tergugat terhadap Penggugat adalah batal demi hukum, dan apabila Penggugat di pekerjakan kembali dari pihak Tergugat merasa keberatan sebagaimana diungkapkan oleh saksi-saksi dari pihak Tergugat dan apabila dipaksakan akan terjadi hubungan kerja yang tidak harmonis, untuk itu Majelis Hakim berpendapat bahwa demi keadilan bahwa pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Tergugat terhadap Penggugat adalah sah dengan alasan disharmonis”
Jika kita analisis pertimbangan majelis hakim, maka akan didapatkan jawaban bahwa adanya pendapat disharmonis dikarenakan tergugat keberatan mempekerjakan kembali penggugat. Majelis hakim juga berpendapat, apabila penggugat dipaksakan dipekerjakan kembali maka akan terjadi hubungan kerja yang tidak harmonis. Sehingga akan jauh lebih baik hubungan kerja kedua pihak diakhiri dengan alasan disharmonis.
Dasar Hukum PHK Dengan Alasan Disharmonis
Sekarang kita bertanya-tanya, apa dasar hukum untuk melakukan PHK dengan alasan disharmonis? Undang-undang ketenagakerjaan atau cipta kerja sendiri serta PP 35/2021 tidak pernah mengatur alasan PHK karena disharmonis. Hal ini pernah dijadikan dalil oleh penggugat kasasi dengan putusan nomor 418 K/Pdt.Sus-PHI/2015 yang berbunyi sebagai berikut:
“Bahwa, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 diatur bahwa setiap pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Perusahaan kepada pekerja/buruh haruslah didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh hukum, seperti karena kesalahan, pensiun, meninggal dunia, berakhirnya masa perjanjian kerja waktu tertentu, efisiensi karena perusahaan tutup bukan karena kerugian, relokasi dan pekerja menolak, peralihan kepemilikan perusahaan dan pekerja menolak atau merger perusahaan dan pekerja menolak dan pekerja mengundurkan diri, selain dari alasan-alasan tersebut tidak dikenal alasan disharmonis”
Lalu apakah dengan tidak diaturnya PHK dengan alasan disharmonis di dalam undang-undang dan peraturan lainnya menjadikannya bertentangan dengan undang-undang?
Negara Indonesia sendiri memiliki beberapa sumber hukum. Salah satu sumber hukum yang ada di Indonesia adalah yurisprudensi. Apa itu yurisprudensi? Yurisprudensi adalah keputusan-keputusan dari hakim terdahulu untuk menghadapi suatu perkara yang tidak diatur di dalam undang-undang dan dijadikan sebagai pedoman bagi para hakim yang lain untuk menyelesaikan suatu perkara yang sama. Artinya, karena PHK dengan alasan disharmonis tidak pernah diatur oleh peraturan perundang-undangan maka putusan yang berkaitan dengan alasan disharmonis dapat dijadikan dasar hukum bagi hakim lainnya untuk memutuskan sebuah perkara.