Rapat Kerja Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bersama Menteri Ketenagakerjaan Ibu Dr. Ida Fauziyah, M.Si beserta jajarannya telah dilaksanakan pada tanggal 10 November 2022 lalu. Rapat kerja ini tidak hanya dihadiri oleh DPR RI dan Menteri Ketenagakerjaan saja, melainkan juga dihadiri oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dan Kamar Dagang Indonesia (KADIN). Pembahasan yang diangkat di dalam rapat kerja tersebut mengangkat tiga topik utama, yaitu:
- Tantangan dan peluang ketenagakerjaan pasca pandemi Covid-19 dan kondisi ekonomi saat ini;
- Strategi dan kesiapan pemerintah dalam menghadapi ancaman resesi global tahun 2023 dan dampaknya dari sisi ketenagakerjaan; dan
- Progress dan implementasi penetapan upah minimum berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Dalam rapat kerja tersebut, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) menyatakan bahwa ancaman resesi tidak sebanding dengan pandemi Covid-19. Dampak yang diberikan oleh pandemi Covid-19 jauh lebih besar jika disandingkan dengan proyeksi skenario dampak yang akan diberikan oleh resesi global. Menaker juga menyatakan bahwa perekonomian Indonesia akan terus berkembang positif di tahun 2023 serta kemungkinan upah minimum di tahun 2023 akan lebih besar atau naik dibandingkan tahun 2022.
Kabar gembira mengenai kenaikan upah minimum disambut baik tentunya oleh pekerja. Namun perlu diperhatikan bahwa kenaikan upah minimum ditentukan pula oleh inflasi. Secara sederhana inflasi merupakan suatu keadaan dimana harga-harga barang secara umum meningkan dan terjadi secara terus-menerus (kontinu). Hal ini berkaitan dengan mekanisme pasar yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa resesi global di tahun 2023 nanti akan menimbulkan inflasi yang membuat harga barang naik, sehingga perlu ada penyesuaian upah minimum untuk menstabilkan daya beli masyarakat dengan pasokan barang yang ada.
Perlu diketahui bersama, yang dimaksud dengan resesi adalah keadaan dimana perputaran ekonomi suatu negara berubah melambat atau memburuk. Perlambatan perputara ekonomi ini berlangsung cukup lama bahkan tahunan akibat dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) suatu negara menurun selama dua kartal dan berlangsung secara terus menerus. Perlambatan ini dapat terjadi oleh karena beberapa hal, diantaranya:
- Inflasi yang membuat daya konsumsi masyarakat menurun;
- Deflasi yang membuat harga-harga turun dan menekan biaya produksi sehingga membuat perusahaan-perusahaan merugi;
- Panic Selling yang dimulai dari masifnya pembelian sahan dan/atau properti oleh karena harapan nilainya akan naik pada tahun tersebut dan ketika perekonomian goyah para investor menjual aset-asetnya dan merusak perekonomian secara makro;
- Perkembangan teknologi yang menggeser dan menghilangkan beberapa pekerjaan sehingga meningkatkan pengangguran dan menurunkan daya beli masyarakat; dan masih banyak lagi.
Adanya resesi dan kenaikan upah minimum juga akan berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK), mengapa? Sebab di tengah pemerosotan ekonomi nasional yang diakibatkan oleh resesi dan berdampak pada dunia usaha dunia industri, terjadi pula kenaikan upah pekerja yang mana akan meningkatkan labour cost di perusahaan. Dalam hal terjadi peningkatan labour cost, tentu langkah yang akan diambil oleh pengusaha adalah dengan melakukan efisiensi tenaga kerja untuk mencegah terjadinya kerugian. Kemungkinan lainnya adalah pengusaha akan melakukan restrukturisasi atau perampingan organisasi untuk mengefisiensikan bentuk perusahaan untuk dapat beradaptasi di tengah resesi.
Ketakutan akan PHK selama masa resesi global juga dirasakan oleh salah satu anggota Komisi IX DPR RI Ibu Arzeni Bilbina, S.E., M.A.P. dari fraksi PKB. Beliau menanyakan bagaimana proteksi pemerintah jika terjadi gelombang PHK selama masa resesi global di tahun 2023. Pertanyaan ini dijawab oleh Menaker dengan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 907 tahun 2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal. Pada pokoknya surat edaran tersebut menyatakan bahwa PHK merupakan upaya terakhir dalam menciptakan iklam ketenagakerjaan yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan setelah menempu upaya-upaya sebagai berikut:
- Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur ;
- Mengurangi shift ;
- Membatasi/menghapuskan kerja lembur ;
- Mengurangi jam kerja ;
- Mengurangi hari kerja
- Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu ;
- Tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya ;
- Memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.
Dalam hal upaya-upaya tersebut sudah dilaksanakan dan iklim ketenagakerjaan di perusahaan masih tidak membaik, barulah pengusaha dapat melakukan PHK
Selain melalui PHK Menaker juga menekankan pentingnya dialog sosial antara pengusaha dengan pekerja melalui Lembaga Kerja Sama (LKS) Bipartit. Segala masalah ketenagakerjaan dapat dibicarakan melalui forum tersebut dan hasilnya dapat direkomendasikan kepada pihak top management. Adanya forum bipartit ini diharapkan dapat meningkatkan harmonisasi antara pengusaha dengan pekerja di perusahaan. Jika harmonisasi sudah tercipta, maka akan timbul rasa percaya dan saling memahami, sehingga dapat menekan perselisihan hubungan industrial maupun pemutusan hubungan kerja di perusahaan.