Tren PHK Dengan Alasan Efisiensi

Tahun 2022 menjadi salah satu tahun yang sulit. Khususnya bagi perusahaan rintisan atau biasa disebut dengan Perusahaan Start Up. Banyak sekali perusahaan start up yang melakukan layoff kepada pekerja-pekerjanya. Kabar terbaru, salah satu Perusahaan E-Commers melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada ratusan pekerjanya. Langkah PHK ini dilakukan sebagai bentuk usaha management dalam mempertahankan bisnis usahanya.

Perusahaan E-Commers tersebut dikabarkan akan tutup di bulan Maret 2023 mendatang. Namun, keterangan-keterangan yang dilontarkan oleh management terkait alasan PHK bukanlah karena perusahaan akan tutup. Melainkan karena perusahaan akan melakukan adaptasi agar kegiatan bisnis dapat terus bergerak di tengah perubahan dan dinamika dunia usaha. Management menerangkan bahwa perusahaan perlu melakukan perampingan agar produktivitas kerja dapat tercapai. Kabar baiknya, management Perusahaan E-Commers memberikan pernyataan bahwa perusahaan akan berkomitmen untuk memastikan pemberian hak sesuai dengan normatif peraturan ketenagakerjaan.

Bentuk PHK dengan alasan perampingan atau restrukturisasi organisasi menjadi alasan terfavorit management dalam melakukan layoff ke pekerja-pekerjanya.. Alasan PHK karena perampingan atau restrukturisasi ini dikenal juga sebagai PHK dengan alasan efisiensi. Alasan efisiensi dalam PHK adalah alasan paling mudah. Mengapa? Karena alasan efisiensi merupakan alasan yang paling mudah dilegitimasi dan dibenarkan oleh management kepada pekerja.

Keadaan pandemi ditambah dengan ramalan resesi yang akan terjadi di tahun 2023 menjadi sugesti bagi para pekerja ketika management menggunakan alasan efisiensi saat melakukan PHK. Pekerja akan membenarkan keadaan perusahaan dalam melakukan efisiensi untuk mencegah kerugian atau disertai dengan kerugian. Sebab pekerja dapat tersugesti dan merasa bahwa perusahaan benar-benar mencegah kerugian atau sedang mengalami kerugian.

Selain karena kondisi pandemi dan ramalan resesi di tahun 2023, alasan efisiensi juga  menjadi alasan PHK yang mudah diaplikasikan karena alasan efisiensi merupakan pernyataan sepihak dari pihak management, yang mana pembuktiannya melalui proses yang sulit. Adapun untuk membuktikan bahwa perusahaan berhak melakukan efisiensi adalah dengan melakukan audit. Proses audit ini dilakukan untuk membuktikan apakah benar perusahaan mengalami potensi penurunan produktivitas atau penurunan profit serta operasional atau perusahaan mengalami kerugian.

Pola pikir pekerja yang instan atau tidak ingin repot akhirnya mengarahkan mereka untuk menerima PHK tersebut. Selain itu, tidak sedikit management yang melakukan ancaman atau tekanan kepada pekerja agar dapat menerima PHK. Hal ini tentunya menjadi pemulus proses PHK dengan alasan efisiensi. Dengan mental pekerja yang instan atau tidak ingin repot, ditambah dengan adanya ancaman atau tekanan dari pihak management akan menimbulkan serangan mental kepada pekerja. Para pekerja dibuat tidak berdaya untuk mengambil keputusan dalam menerima atau menolak PHK.

Jika ditilik lebih jauh lagi, pengetahuan pekerja dalam memahami hukum ketenagakerjaan khususnya mengenai ketentuan PHK sangat kurang. Mayoritas pekerja tidak paham ketentuan PHK yang diatur di dalam peraturan ketenagakerjaan. Sehingga mereka tidak memiliki dasar untuk melakukan perlawanan saat keputusan PHK dilayangkan oleh management. Selain ketentuan PHK, pengetahuan pekerja dalam proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial juga sangat minim. Hal tersebut membentuk mentalitas “berserah diri” alias pasrah dengan keadaan.

Ramalan alasan efisiensi untuk melakukan PHK menjadi tren timbul sejak era Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kebanyakan aktivis serikat pekerja berpendapat bahwa alasan efisiensi dalam melakukan PHK dapat menjadi senjata unggulan bagi perusahaan untuk dapat dengan mudah memutus hubungan kerja pekerjanya. Ramalan ini telah terbukti dan kemungkinan akan terus berlanjut hingga di tahun 2023 mendatang.

Perlunya edukasi ketenagakerjaan kepada pekerja harusnya menjadi prioritas. Dengan pekerja yang teredukasi tentang ketentuan-ketentuan ketenagakerjaan, diharapkan dapat membangun iklim ketenagakerjaan yang lebih cerdas. Dengan demikian, kesewenang-wenangan perusahaan dalam melakukan PHK dapat diminimalisasi. Sehingga tercipta hubungan kerja yang lebih dinamis dan berkeadilan.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp